TUGAS ILMU PEMERINTAHAN
Tentang
PENGARUH BUDAYA ETNIK LOKAL TERHADAP
FUNGSI PEMERINTAHAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh:
YUDHA PRAYOGA ISMAN
1106468
BP 2011
PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU SOSIAL POLITIK
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas “pengaruh etnik local terhadap fungsi
pemerintahan dan kebijakan publik” ini
tepat pada waktunya. Salawat Penulis sampaikan kepada junjungan umat Islam
sedunia, Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan ajaran Islam untuk kecerdasan
manusia.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada Bapak Aldri Frinaldi,
S.H., M.Hum. sebagai dosen pembimbing Mata Kuliah Umum Ilmu Pemerintahan. Tak
lupa kepada orang tua, teman, dan pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Namun Penulis menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaa. Penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun
untuk perbaikan makalah ini kedepannya.
Demikianlah makalah ini Penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat
menjadi amal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, khususnya dalam kehidupan
ilmu pengetahuan. Amin.
Padang, November 2011
Penulis
·
Kata etnik berasal dari bahasa Yunani ethnos yang berarti bangsa
atau orang atau acapkali diartikan sebagai setiap kelompok sosial yang
ditentukan oleh ras, adat istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya yang
mengindikasikan adanya kenyataan kelompok yang minoritas dan mayoritas dalam
suatu masyarakat.
·
Memperluas pengertian kelompok etnik sebagai kelompok sosial yang dapat
tersusun atas ras, agama atau asal negara
(Delgado , Ricardo dan Stefanis. 2001. Critical Race Theory: an Introduction.
New York: New York University Press)
- Suatu kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama
- Suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda tetapi diantara mereka memiliki semacam subkultur yang sama
- Suatu kelompok yang memiliki domain tertentu (etnic domain)
1. Fredrick
Barth
Etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama,
asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada
sistem nilai budaya
2. Hassan
Shadily MA
Suku bangsa atau etnis adalah segolongan rakyat yang masih
dianggap mempunyai hubungan
biologis.
3. Menurut Ensiklopedi Indonesia Etnis berarti kelompok sosial dalam
sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu
karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu
kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik
yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
4. Menurut Perspektif Teori Situasional, Etnis merupakan hasil dari adanya
pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat
berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang demi kepentingan
administratif pemerintah kolonial telah mengkotak-kotakkan warga jajahan ke
dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex dalam Simatupang, 2003). Untuk
seterusnya sisa warisan kolonial itu terus dipakai sampai sekarang.
Dari
semua pengertian di atas kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan etnik
local.
Etnik
lokal adalah suatu kelompok sosial yang ada di suatu daerah atau tempat yang
memiliki tradisi atau kebudayaan tersendiri dan memiliki ras yang beragam. Di
setiap daerah tentunya memiliki bermacam – macam ras dan suku budaya. Hal ini
disebabkan karena Indonesia memiliki beragam kebudayaan sejak zaman dahulu.
Dari keragaman ini setiap daerah di Indonesia mempunyai cirri tersendiri dalam
kebudayaannya.
Dari
pengertian etnik lokal diatas apa pengaruhnya terhadap fungsi pemerintahan dan
kebijakan publik. Sebelumnya kita harus tau apa fungsi pemerintahan dan
kebijakan publik tersebut.
Sebelum
kita mengetahui apa pengaruh etnik local terhadap fungsi pemerintahan kita
sebelumnya harus mengetahui apa fungsi pemerintahan yang berlaku di Indonesia.
Fungsi
Pemerintahan di Indonesia Secara Umum
Penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia diarahkan untuk mencapai kepentingan nasional
(National Interest) serta untuk mewujudkan tujuan nasional (National Goal)
yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia.
Fungsi
pemerintahan pada umumnya berupa penyediaan pelayanan umum, pengaturan dan
perlindungan masyarakat serta pembangunan dan pengembangan. Sedangkan tugas dan
kewajiban pemerintah adalah membuat regulasi tentang pelayanan umum,
pengembangan sumber daya produktif, melindungi ketentraman dan ketertiban
masyarakat, pelestarian nilai-nilai sosio-kultural, kesatuan dan persatuan
nasional, pengembangan kehidupan demokrasi, pencapaian keadilan dan pemerataan,
pelestarian lingkungan hidup, penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan, mendukung pembangunan nasional dan mengembangkan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan menjaga
tegak, lestari serta utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
FUNGSI PEMERINTAHAN
Dilihat
dari fungsi dan tugas pemerintah seperti teridentifikasi di atas, maka dalam
mengoptimalkan penyelenggaraannya diperlukan penerapan good governance sebagai
suatu tata pemerintahan yang baik yang di dalam pelaksanaannya didukung tiga
pilar utama yakni pemerintah, masyarakat, dan swasta. Prinsip tersebut
dijabarkan sebagai berikut :
1.
Akuntabilitas;
penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan.
2.
Transparansi;
dalam penyelenggaraannya, fungsi-fungsi pemerintahan harus memiliki mekanisme
yang jelas dan diinformasikan kepada semua pihak.
3.
Keterbukaan;
dalam penyelenggaraannya, pemerintahan harus bersifat terbuka, sehingga dapat
menerima saran dan kritik dari pihak lain guna memperbaiki penyelenggaraan
fungsi-fungsinya.
4.
Penegakan
Hukum; Pemerintahan diselenggarakan dengan menegakkan peraturan dan perundangan
yang ada.
5.
Demokrasi
dan partisipasi; fungsi-fungsi pemerintahan diselenggarakan tanpa mengabaikan
kepentingan bersama serta melibatkan masyarakat dan pihak swasta sebagai bagian
dari pilar utama kekuatan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan.
6.
Kapabilitas;
fungsi-fungsi pemerintahan harus didukung oleh sumber daya yang memiliki
kemampuan dan keahlian dalam menjalankan tugas-tugasnya
7.
Profesionalisme;
sumber daya manusia yang terlibat dalam pemerintahan harus mampu memisahkan
kepentingan pribadi atau golongan dengan tugas-tugas kenegaraannya.
8.
Responsif;
penyelenggaraan pemerintahan harus peka terhadap perubahan yang ada dan mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.
9.
efektivitas
dan efesiensi; penyelenggaraan pemerintahan harus mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memanfaatkan
fasilitas dan kapasitas yang ada digunakan secara optimal.
Dalam
kaitan untuk mewujudkan kepentingan nasional, tujuan nasional dan good
governance, salah satu fungsi pemerintahan yang perlu diterapkan secara utuh
adalah penyelenggaraan pemerintahan umum (Algemene Bestuur) sebagai suatu
sistem pemerintahan negara yang dilakukan secara terpadu dan terintegrasi oleh
perangkat pemerintahan yang memiliki kewenangan secara terpusat, baik dalam
masalah kebijaksanaan, maupun dalam pelaksanaannya.
Pemerintahan Umum adalah suatu sistem yang dikembangkan dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan seluruh elemen pemerintahan melalui asas dekonsentrasi, desentralisasi (pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada Instansi Vertikal di wilayah tertentu) dan tugas pembantuan (penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu). Pemerintahan umum bertujuan untuk memelihara keutuhan negara yang pada umumnya dilakukan secara seragam melalui standardisasi yang rasional dan didasarkan pada kepentingan negara.
Dalam
menjalankan peranannya, Pemerintahan Umum dapat memilah-milah kewenangan dan
bahkan dapat mendistribusikan kewenangan secara rasional dan hierarkhis kepada
Pemerintahan bawahan melalui suatu sistem dan perangkat birokrasi yang efisien.
Pada zaman modern ini, sistem Pemerintahan Umum dihadapkan pada suatu fenomena
politik dimana kekuasaan sentral tersebut dituntut untuk dibagikan seleluasa
mungkin kepada unit-unit Pemerintahan bawahan dengan alasan-alasan efisiensi
dan menyesuaikan kebijaksanaan Negara pada Kebhinekaan Pemerintahan bawahan. Di
banyak negara yang semula sentralistis, melalui mekanisme politik tertentu
kewenangan dibagi kepada Pemerintahan Bawahan dengan tujuan untuk mencapai
efisiensi dan ketepatan implementasi kebijaksanaan umum dari Pemerintah Pusat.
KEBIJAKAN PUBLIK
Beberapa definisi tentang
Kebijakan Publik, menurut :
1) Bridgman dan Davis (2005:3)
Kebijakan Publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever government
choose to do or not to do”. Yang berarti, kebijakan publik adalah ‘apa saja
yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan’.
2) Hogwood dan Gunn (1990)
Kebijakan Publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk
mencapai hasil-hasil tertentu. Namun dalam hal ini bukan berarti bahwa makna
‘kebijakan ‘ hanyalah milik atau domain pemerintah saja.
3) Edi Suharto, Ph.D.
Kebijakan (policy) Publik adalah sebuah instrumen pemerintanhan, bukan saja dalam arti governmentyang hanya
menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya
public
4) Beberapa Definisi dari kalangan lainnya :
- Kebijakan Publik pada dasarnya hanya sebatas
dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan peraturan pemerintah.
- Kebijakan Publik sebagai pedoman, acuan, strategi dan
kerangka tindakanyang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar atau roadmap pemerintah dalam melakukan kegiatan
pembangunan.
Pasca reformasi,
negara Indonesia menganggap dirinya sebagai negara demokrasi. Setelah terlepas
dari kekuatan dan kekuasaan rezim Soeharto “orde lama” maka sekarang ini rakyat
dituntut untuk mampu menentukan dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan dalam kekuasaan negara.
Aksi demo dari
berbagai kalangan selalu dilakukan demi tercapainya kebijakan pemerintah yang
harus sesuai dengan kehendak rakyat, namun apakah itu benar? Dan yang harus
dipertanyakan kembali adalah apakah rakyat mengerti tentang kebijakan serta
sistem yang mengikuti adanya kebijakan tersebut? Rasanya Tak pantas bila kita
hanya menyalahkan sesuatu namun kita tidak mengetahui sesuatu yang kita
salahkan itu.
Dalam tulisan ini saya
mencoba untuk membagi pengetahuan kepada masyarakat tentang arti serta sistem
yang terkandung dalam penetapan kebijakan pemerintah terhadap rakyat.
Dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh berbagai kalangan saya
berharap tulisan ini bermanfaat bagi kita semua dan mampu menjawab inti dari
pertanyaan besar dari tujuan tulisan ini yaitu, apakah kebijakan yang dibuat
pemerintah selama ini sudah sesuai dengan kehendak rakyat?
Ada beberapa teori
tentang kebijakan diantaranya yaitu; menurut Ealau dan Pewitt (1973) kebijakan
adalah sebuah ketetapan yang berlaku,dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan
berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut.
Menurut Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai
prinsip-prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuam tertentu dan
menurut Edi Suharto (2008:7) menyatakan bahwa kebijakan adalah
suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak
yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Selain 3 teori diatas
kebijakan pun dapat di definisikan sesuai dengan teori yang mengikutinya,antara
lain yaitu:
1.
Teori Kelembagaan memandang kebijakan sebagai
aktivitas kelembagaan dimana struktur dan lembaga pemerintah merupakan pusat
kegiatan politik.
2.
Teori Kelompok yang memandang kebijakan sebagai
keseimbangan kelompok yang tercapai dalam perjuangan kelompok pada suatu saat
tertentu. Kebijakan pemerintah dapat juga dipandang sebagai nilai-nilai
kelompok elit yang memerintah
3.
Teori Elit memandang Kebijakan pemerintah
sebagai nilai-nilai kelompok elit yang memerintah.
4.
Teori Rasional memandang kebijakan sebagai
pencapaian tujuan secara efisien melalui sistem pengambilan keputusan yang
tetap.
5.
Teori Inkremental, kebijakan dipandang sebagai
variasi terhadap kebijakan masa lampau atau dengan kata lain kebijakan
pemerintah yang ada sekarang ini merupakan kelanjutan kebijakan pemerintah pada
waktu yang lalu yang disertai modifikasi secara bertahap.
6.
Teori Permainan memandang kebijakan sebagai
pilihan yang rasional dalam situasi-situasi yang saling bersaing.
7.
Teori kebijakan yang lain adalah Teori Campuran yang
merupakan gabungan model rasional komprehensif dan inkremental.
Perlu kita ketahui
mengapa kita harus mengetahui serta memahami setiap kebijakan yang ada, karena
kebijakan tidak bisa dipahami secara tekstual, namun banyak sekali hal-hal yang
tersirak(kontekstual) yang tidak diketahui oleh public dalam menetapkan
kebijakan. Disinilah peran media sebagai fasilitator untuk tranformasi
informasi kepada rakyat. Maka haruslah setiap menia yang ada bersifat
independen atau tidak terpengaruhi oleh kekuasaan politik tertentu. Selain
media sebagai alat, masyarakan berperan utuk dapat menganalisis setiap
kebijakan dan mampu membantu menyusun kebijakan yang ada.
Inilah 2 tujuan mempelajari kebijakan pemerintah.
Ada 2 akibat yang
timbul dari penetapan kebijakan, yaitu: kebijakan yangberorientasi pada
pelayanan public dalam arti sesuai dengan makna demokrasi dan
kebijakan yang meracuni public/ kebijakan yang ditetapkan hanya
untuk kepentingan beberapa kalangan saja, dan hal dampak yang kedua ini
sangatlah kontraproduktif terhadap nilai-nilai demokrasi.
Seperti yang telah
kita ketahui, salah sau fungsi politik adalah untuk membuat kebijakan dan
kebijakan ada karena 2 faktor yaitu; adanya masalah sosial dan adanya
pergantian kekuasaan yang megakibatkan kebijakan pun berubah-ubah.
Kebijakan dapat
diwujudkan dengan cara; Pembuatan Peraturan UU, Perencanaan Kegiatan,
Aneka intervensi terhadap ekonomi/social masyarakat. Karena kebijakan itu
merupakan tindakan dan keputusan pemerintah maka kebijakan tersebut dicirikan
dengan kekuasaan yangdidominasi oleh pemerintah serta sesuai
hukum dan wewenang pemerintah.
Dari
berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan
Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur
kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya.
Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang
dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai
tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7).
Aturan
atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik,
jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak
hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika
suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka
formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun
serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik
tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi
Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden
termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum
yang harus ditaati.
Sementara
itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu
kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus
menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat
yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan
persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada
yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan
suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Untuk
memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public
actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk
mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada
kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001:
371 – 372):
bahwa kebijakan adalah suatu upaya
atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan,
upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan
menyeluruh.
Demikian
pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003:
492-499)
bahwa kata kebijakan berasal dari
terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam
batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal
mengikat.
Meski
demikian kata kebijakan yang berasal dari policy dianggap merupakan konsep yang
relatif (Michael Hill, 1993: 8):
The concept of policy has a
particular status in the rational model as the relatively durable element
against which other premises and actions are supposed to be tested for
consistency.
Dengan
demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai
kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang
bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam
dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan
kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model
kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental,
model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem.
Selanjutnya
tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan
terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi,
kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah
suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu
batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry,
1964:278).
Kebijakan
secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat
dibedakan dalam tiga tingkatan:
- Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
- Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
- Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.
Namun
demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran
ilmiah yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara
pengetahuan dan tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn,
2003: 89)
Analisis Kebijakan (Policy Analysis)
dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap
pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan
secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit
dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan.
Setelah
memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan
oleh Bill Jenkins didalam buku The Policy Process sebagai Kebijakan publik
adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor
politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan
situasi tertentu. Selanjutnya Bill Jenkins mendefinisikan kebijakan publik
sebagai: (Michael Hill, 1993: 34)
A set of interrelated decisions
taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals
and the means of achieving them within a specified situation where these
decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve.
Dengan
demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika
public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam
rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan
publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu
diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.”
Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M. Irfan Islamy “Prinsip-prinsip Kebijakan
Negara (Islamy, 2001:1), administrasi negara mempunyai peranan penting dalam
merumuskan kebijakan negara dan ini merupakan bagian dari proses politik.
Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan
melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan.
Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh
Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan atau
sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik.
Terkait
dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding
Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3)
Kebijakan publik adalah segala
sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang
membuat sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan
menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US,
(Said Zainal Abidin,2004: 23)
kebijakan publik biasanya tidak
bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis.
Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan
keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Dalam
Kybernology dan dalam konsep kebijakan pemerintahan kebijakan publik merupakan
suatu sistem nilai yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang
bersangkutan dapat digambarkan sebagai berikut:
Sistem
Nilai Kearifan
Selanjutnya
kebijakan publik tersebut setelah melalui analisa yang mendalam dan dirumuskan
dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan publik. Dalam merumuskan kebijakan
publik Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan yaitu:
- Model Kelembagaan;
- Model Elit;
- Model Kelompok;
- Model Rasional;
- Model Inkremental;
- Model Teori Permainan;
- Model Pilihan Publik;
- Model Sistem
Selain
itu ada tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu:
- Model Pengamatan Terpadu;
- Model Demokratis;
- Model Strategis
Di
sisi lain kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika
public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam
rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan
publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu
diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.”
Kebutuhan masyarakat tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh individu atau
kelompoknya melainkan diperlukan keterlibatan pihak lain yang dibentuk oleh
masyarakat itu sendiri. Pihak lain inilah yang kemudian disebut dengan
administrasi negara.
Proses
dilakukan organisasi atau perorangan yang bertindak dalam kedudukannya sebagai
pejabat yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan
yang dikeluarkan oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Administrasi negara
dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan
untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan menurut Lasswell dan
Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana
untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan
berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik. Pendapat lain tentang kebijakan
menurut Heinz Eulau dan Kenneth Prewit adalah suatu keputusan yang menuntut
adanya perilaku yang konsisten dan pengulangan bagi pembuat dan pelaksana
kebijakan.
Terkait
dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding
Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan
publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka
melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil.
Sedangkan
menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US,
(Said Zainal Abidin,2004: 23)
kebijakan publik adalah biasanya
tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata
strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk
kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Kebijakan
publik yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama
untuk mencapai visi dan misi yang telah disepakati. Hal ini seperti tergambar
dalam gambar berikut:
Kebijakan
Publik
Dari
gambar di atas dapat simpulkan bahwa kebijakan publik sebagai manajemen
pencapaian tujuan yang dapat diukur. Namun menurut Riant Nugroho D., bukan
berarti kebijakan publik mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah
dikendalikan, karena kebijakan publik menyangkut politik (Nugroho, 2004:52).
Kebijakan
publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi
dalam tiga prinsip yaitu:pertama, dalam konteks bagaimana
merumuskan kebijakan publik (Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana
kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan ketiga, bagaimana
kebijakan publik tersebut dievaluasi (Nugroho 2004,100-105)
Dalam
konteks formulasi, maka berbagai isu yang banyak beredar didalam masyarakat
tidak semua dapat masuk agenda pemerintah untuk diproses menjadi kebijakan. Isu
yang masuk dalam agenda kebijakan biasanya memiliki latar belakang yang kuat
berhubungan dengan analisis kebijakan dan terkait dengan enam pertimbangan
sebagai berikut:
- Apakah Isu tersebut dianggap telah mencapai tingkat kritis sehingga tidak bisa diabaikan?.
- Apakah Isu tersebut sensitif, yang cepat menarik perhatian masyarakat?
- Apakah Isu tersebut menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat?
- Apakah Isu tersebut menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas dalam masyarakat kalau diabaikan?
- Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi?
- Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kecenderungan yang sedang berkembang dalam masyarakat?
Namun
dari semua isu tersebut di atas menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,
2004: 56-59) tidak semua mempunyai prioritas yang sama untuk diproses. Ini
ditentukan oleh suatu proses penyaringan melalui serangkaian kriteria. Berikut
ini kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan salah satu di antara
berbagai kebijakan:
- Efektifitas – mengukur suatu alternatif sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
- Efisien – dana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang dicapai.
- Cukup – suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.
- Adil
- Terjawab – kebijakan dibuat agar dapat memenuhi kebutuhan sesuatu golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat.
Aktivitas
analisis didalam kebijakan publik pada dasarnya terbuka terhadap peran serta
disiplin ilmu lain. Oleh karena itu didalam kebijakan publik akan terlihat
suatu gambaran bersintesanya berbagai disiplin ilmu dalam satu paket
kebersamaan. Berdasarkan pendekatan kebijakan publik, maka akan terintegrasi
antara kenyataan praktis dan pandangan teoritis secara bersama-sama. Dalam
kesempatan ini Ripley menyatakan (Randal B. Ripley, 1985: 31)
Didalam proses kebijakan telah
termasuk didalamnya berbagai aktivitas praktis dan intelektual yang berjalan
secara bersama-sama.
Pada
praktik kebijakan publik antara lain mengembangkan mekanisme jaringan aktor
(actor networks). Melalui mekanisme jaringan aktor telah tercipta jalur-jalur
yang bersifat informal (second track), yang ternyata cukup bermakna dalam
mengatasi persoalan-persoalan yang sukar untuk dipecahkan. Mark Considine
memberi batasan jaringan aktor sebagai: (Mark Considine, 1994: 103)
Keterhubungan secara tidak resmi dan
semi resmi antara individu-individu dan kelompok-kelompok di dalam suatu sistem
kebijakan.
Terdapat
3 (tiga) rangkaian kesatuan penting didalam analisis kebijakan publik yang
perlu dipahami, yaitu formulasi kebijakan (policy formulation),
implementasi kebijakan (policy implementation) dan evaluasi kebijakan (policy
evaluation). Didalam kesempatan ini dibahas lebih lanjut mengenai
implementasi kebijakan, karena memiliki relevansi dengan tema kajian.
Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik,
kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai
pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana
dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.
Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William Dunn
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn
adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat
strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang
untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda
publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai
masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu
tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu
lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan
suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue
kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy
problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di
antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau
pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William
Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan
baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah
tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda
kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan
Gunn, 1986) diantaranya:
1. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan,
akan menjadi ancaman yang serius;
2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à
berdampak dramatis;
3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak
(umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
4. menjangkau dampak yang amat luas ;
5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam
masyarakat ;
6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit
dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan
masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan
rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan
untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak
terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan
tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah
kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan
stakeholder.
2.Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para
pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari
pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan
perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap
perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada
proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu
masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan
pemerintah. Namun warga negara harus
percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim
cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan
pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi
dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui
proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan
sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang
mencakup substansi, implementasi dan dampak Dalam hal ini , evaluasi
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak
hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses
kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan
masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan
masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
Perspektif Implementasi Kebijakan
Implementasi
kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah
satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh
Edwards III (1984: 9-10). Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi
dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa
yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang
menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan
tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan
proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau
pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat
faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan.
Komunikasi
suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para
pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi
dan konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi empat
komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan
guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas atau
tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi atau
sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana terhadap program. Struktur
birokrasi didasarkan pada standard operating prosedure yang mengatur
tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.
Untuk
memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik.
Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni: (1) adanya respek
anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan perlunya
secara moral mematuhi undang-undang yang dibuat oleh pihak berwenang; (2)
adanya kesadaran untuk menerima kebijakan. Kesadaran dan kemauan menerima dan
melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis; (3)
keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah; (4) awalnya suatu kebijakan
dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut
dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Menurut
Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam analisis
implementasi, yaitu perspektif administrasi publik dan perspektif ilmu politik.
Menurut perspektif administrasi publik, implementasi pada awalnya dilihat
sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien. Namun, pada akhir
Perang Dunia II berbagai penelitian administrasi negara menunjukkan bahwa
ternyata agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi,
tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota lembaga legislatif
dan berbagai faktor dalam lingkungan politis.
Perspektif
ilmu politik mendapat dukungan dari pendekatan sistem terhadap kehidupan
politik. Pendekatan ini seolah-olah mematahkan perspektif organisasi dalam
administrasi publik dan mulai memberikan perhatian terhadap pentingnya input
dari luar arena administrasi, seperti ketentuan administratif, perubahan
preferensi publik, teknologi baru dan preferensi masyarakat. Perspektif ini
terfokus pada pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu seberapa jauh
konsistensi antara output kebijakan dengan tujuannya.
Ripley
memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam
implementasi kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan kepatuhan
muncul dalam literatur administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian
pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu
atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku
organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif
kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi
justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang tidak didesain dengan
baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan
implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.
Kedua
perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama
lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor
eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif.
Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang
juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional yang
mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle, 1980: 7).
Berdasarkan
pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan
kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses
implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu: (1) kepatuhan
implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan
implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam
menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan
faktual.
Keberhasilan
kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi
dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil
jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang
dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen
pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif
hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti
yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses,
tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.
Apa
pengaruh etnik lokal terhadap fungsi pemerintahan ?
Pengaruh
yang terjadi dari banyaknya etnik local disuatu daerah bisa berdampak positif
maupun negative karena etnik di suatu daerah pasti berbeda – beda.
Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan
Menurut Grindle (1980: 10) dan Quade (1984: 310), untuk
mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan
variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan
karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat
berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih
diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan
berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan
publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif
atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan
akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh
terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan
berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses
implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan
kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil langsung dari implementasi kebijakan
yang menentukan efeknya terhadap masyarakat.
Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi menurut
Ripley dan Franklin (1986: 12) didasarkan pada tiga aspek, yaitu: (1) tingkat
kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi
sebagaimana diatur dalam undang-undang, (2) adanya kelancaran rutinitas dan
tidak adanya masalah; serta (3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang
dikehendaki dari semua program yang ada terarah. Sedangkan menurut Goggin et
al. (1990: 20-21, 31-40), proses implementasi kebijakan sebagai upaya
transfer informasi atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi
yang lebih rendah diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel: (1)
dorongan dan paksaan pada tingkat federal, (2) kapasitas pusat/negara, dan (3)
dorongan dan paksaan pada tingkat pusat dan daerah.
Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat pusat
ditentukan oleh legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat di mata daerah maka semakin besar
kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Untuk mengukur kekuatan isi dan pesan
kebijakan dapat dilihat melalui: (i) besarnya dana yang dialokasikan, dengan
asumsi bahwa semakin besar dana yang dialokasikan maka semakin serius kebijakan
tersebut dilaksanakan dan (ii) bentuk kebijakan yang memuat antara lain,
kejelasan kebijakan, konsistensi pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan
diterimanya pesan secara benar. Sementara itu, untuk mengetahui variabel
kapasitas pusat atau kapasitas organisasi dapat dilihat melalui seberapa jauh
organisasi pelaksana kebijakan mampu memanfaatkan wewenang yang dimiliki,
bagaimana hubungannya dengan struktur birokrasi yang ada dan bagaimana
mengkoordinasikan berbagai sumberdaya yang tersedia dalam organisasi dan dalam
masyarakat.
Model kesesuaian implementasi kebijakan atau program dari
Korten juga relevan digunakan (lihat kembali Gambar 3 dan penjelasannya)
sebagai kriteria pengukuran implementasi kebijakan. Dengan kata lain,
keefektifan kebijakan atau program menurut Korten tergantung pada tingkat
kesesuaian antara program dengan pemanfaat, kesesuaian program dengan
organisasi pelaksana dan kesesuaian program kelompok pemanfaat dengan
organisasi pelaksana.
Selain kriteria pengukuran implementasi kebijakan di
atas, perlu pula dipahami adanya hubungan pengaruh antara implementasi
kebijakan dengan faktor lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Meter dan Van
Horn (lihat Grindle, 1980: 6) bahwa terdapat variabel bebas yang saling
berkaitan sekaligus menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi kerja.
Variabel yang dimaksud oleh keduanya meliputi: (i) ukuran dan tujuan kebijakan,
(ii) sumber kebijakan, (iii) ciri atau sifat badan/instansi pelaksana, (iv)
komunikasi antar organisasi terkait dan komunikasi kegiatan yang dilaksanakan, (v)
sikap para pelaksana, dan (vi) lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Menurut Quade (1984: 310), dalam proses implementasi
kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi
pengimplementasi, kelompok sasaran dan faktor lingkungan yang mengakibatkan
munculnya tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi.
Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan
dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya.
Quade memberikan gambaran bahwa terdapat empat variabel yang harus diteliti
dalam analisis implementasi kebijakan publik, yaitu: (1) Kebijakan yang
diimpikan, yaitu pola interaksi yang diimpikan agar orang yang menetapkan
kebijakan berusaha untuk mewujudkan; (2) Kelompok target, yaitu subyek yang
diharapkan dapat mengadopsi pola interaksi baru melalui kebijakan dan subyek
yang harus berubah untuk memenuhi kebutuhannya; (3) Organisasi yang
melaksanakan, yaitu biasanya berupa unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab
mengimplementasikan kebijakan; dan (4) Faktor lingkungan, yaitu elemen dalam
lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Sebagai komparasi dapat dipahami pemikiran Mazmanian dan
Sabatier yang mengembangkan “kerangka kerja analisis implementasi” (lihat
Wahab, 1991: 117). Menurutnya, peran penting analisis implementasi kebijakan
negara ialah mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan
formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh
Mazmanian dan Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu: (1)
mudah atau sulitnya dikendalikan masalah yang digarap; (2) kemampuan kebijakan
untuk mensistematisasi proses implementasinya; dan (3) pengaruh langsung
variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam
kebijakan. Ketiga variabel ini disebut variabel bebas yang dibedakan dengan
tahap implementasi yang harus dilalui sebagai variabel terikat.
Variabel mudah atau sulitnya suatu masalah dikendalikan
mencakup: (i) kesukaran teknis, (ii) keragaman perilaku kelompok sasaran, (iii)
persentase kelompok sasaran dibandingkan dengan jumlah penduduk, dan (iv) ruang
lingkup perubahan perilaku yang diinginkan. Variabel kemampuan kebijakan untuk
mensistematisasi proses implementasi mencakup: (i) kejelasan dan konsistensi
tujuan, (ii) ketepatan alokasi sumber daya, (iii) keterpaduan hirarki dalam dan
di antara lembaga pelaksana, (iv) aturan keputusan dari badan pelaksana, (v)
rekruitmen pejabat pelaksana, dan (vi) akses formal pihak luar. Variabel di
luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi mencakup: (i) kondisi
sosial ekonomi dan teknologi, (ii) dukungan publik, (iii) sikap dan sumber daya
yang dimiliki kelompok, (iv) dukungan dari pejabat atasan, dan (v) komitmen dan
kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana (Keban, 2007: 16). Sedangkan variabel
terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi mencakup:
(i) output kebijakan badan pelaksana, (ii) kesediaan kelompok sasaran mematuhi
output kebijakan, (iii) dampak nyata output kebijakan, (iv) dampak output
kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan (v) perbaikan.
Model-model
Implementasi Kebijakan Pemerintah
Model implementasi kebijakan pemerintah digunakan
untuk menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang menjadi fokus
analisis.
Model-model implementasi kebijakan pemerintah itu, antara lain:
Model-model implementasi kebijakan pemerintah itu, antara lain:
1. Model “The top down approach” menurut Brian W.
Hogwood dan Lewis A, Gunn, yaitu implementasi kebijakan pemerintah yang
dilaksanakan dapat sempurna, dengan persyaratan:
a. Kondisi eksternal yang dihadapi Badan Pelaksana
tidak akan menimbulkan kendala serius.
b. tersedianya waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai untuk melaksanakan program.
c. perpaduan sumber-sumber yang diperlukan
benar-benar tersedia.
d. kebijakan yang akan di implementasikan disadari
oleh suatu hubungan kausalitas yang ada.
e. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya
sedikit mata rantai penghubungnya.
f. hubungan saling ketergantungan harus kecil.
g. pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap
tujuan
h. tugas-tugas diperinci dalam urutan yang tepat
i. komunikasi dan koordinasi yang tepat.
j. pihak-pihak yang berwenang dapat menentukan dan
mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
2. Model Proses Implementasi kebijakan, menurut Van
Meter dan Van Horn, yaitu perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan
dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang bersangkutan.
Implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, dan kesepakatan terhadap tujuan, terutama yang terlibat di lapangan relatif tinggi. Sehingga perlu tipologi kebijakan yang dibedakan berdasarkan:
Implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, dan kesepakatan terhadap tujuan, terutama yang terlibat di lapangan relatif tinggi. Sehingga perlu tipologi kebijakan yang dibedakan berdasarkan:
a. jumlah masing-masing perubahan yang akan
dihasilkan;
b. jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap
tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat.
3. Model Kerangka Analisis Implementasi, menurut D.
Mazmanian dan P.A. Sabatier, yaitu nilai penting analisis implementasi
kebijakan pemerintah adalah untuk mengidentifikasikan variabel-variabel itu
terbagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu:
a. mudah tidaknya masalah ( yang akan dipecahkan)
dikendalikan;
b. kemampuan keputusan untuk menstrukturkan proses
implementasi secara tepat;
c. pengaruh langsung berbagai variabel politik
terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.
Sehubungan dengan turunnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 1996, yang
berdampak terhadap munculnya kondisi resesi ekonomi, maka hal ini mempengaruhi
sektor riil dan kelumpuhan produktivitas. Di satu sisi lain melahirkan adanya
tuntutan terhadap reformasi administrasi negara untuk melakukan perubahan-
perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penyelarasan kinerja aparat
yang berorientasi pada keadilan yang tidak hanya bertumpu pada pertumbuhan
saja.
Dalam menyikapi perubahan yang cepat di masyarakat, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Dati II Nganjuk sejak tahun 1998 telah melakukan alternatif dalam peningkatan pelayanan publik agar mampu menangani berbagai masalah antara lain dalam enam sektor perijinan melalui model Satuan Administrasi Satu Atap (SAMSAT) dalam pengurusannya yaitu ijin HO, tempat usaha, IMB, penggilingan padi dan penyosohan beras dan ijin perubahan status tanah. SAMSAT mempunyai prinsip yaitu kesedarhanaan, ketepatan, kejelasan, kelancaran dan perlindungan. Berdasarkan pemikiran dan fenomena yang ada, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian evaluatif terhadap dampak implementasi kebijakan
perijinan model Satuan Administrasi Satu Atap di Kabupaten Daerah Tingkat II Nganjuk dengan topik Evaluasi Dampak Implementasi Kebijakan Pelayanan Publik . Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: (a) apakah
debirokratisasi melalui model Satuan Administrasi Satu Atap dapat meningkatkan efektifitas pelayanan publik? (b) bagaimana dampak dan konsekuensi implementasi kebijakan sektor perijinan terhadap pelayana wajib ijin? (c) bagaimana dampak implementasi kebijakan terhadap kontribusinya bagi Pendapatan Asli Daerah?
Dalam menyikapi perubahan yang cepat di masyarakat, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Dati II Nganjuk sejak tahun 1998 telah melakukan alternatif dalam peningkatan pelayanan publik agar mampu menangani berbagai masalah antara lain dalam enam sektor perijinan melalui model Satuan Administrasi Satu Atap (SAMSAT) dalam pengurusannya yaitu ijin HO, tempat usaha, IMB, penggilingan padi dan penyosohan beras dan ijin perubahan status tanah. SAMSAT mempunyai prinsip yaitu kesedarhanaan, ketepatan, kejelasan, kelancaran dan perlindungan. Berdasarkan pemikiran dan fenomena yang ada, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian evaluatif terhadap dampak implementasi kebijakan
perijinan model Satuan Administrasi Satu Atap di Kabupaten Daerah Tingkat II Nganjuk dengan topik Evaluasi Dampak Implementasi Kebijakan Pelayanan Publik . Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: (a) apakah
debirokratisasi melalui model Satuan Administrasi Satu Atap dapat meningkatkan efektifitas pelayanan publik? (b) bagaimana dampak dan konsekuensi implementasi kebijakan sektor perijinan terhadap pelayana wajib ijin? (c) bagaimana dampak implementasi kebijakan terhadap kontribusinya bagi Pendapatan Asli Daerah?
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk:
(a) mendeskripsikan birokrasi melalui
model Satuan Administrasi Satu Atap dalam meningkatkan efektifitas pelayanan
(b) mengevaluasi dampak dan
konsekuensi implementasi kebijakan sektor perijinan terhadap pelayanan wajib
ijin dan kontribusinya bagi Pendapatan Asli Daerah.
Penelitian ini merupakan penelitian
evaluasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sesuai dengan pendapat
Cronbach yang nyata bahwa penelitian evaluasi kebijakan publik metode
kualitatif lebih cocok digunakan daripada metode kuantitatif, karena metode
kualitatif dapat menggambarkan secara
menyeluruh mengenai hasil evaluasi serta pemahaman terhadap program
dengan situasi lingkungannya, sehingga lebih bersifat leluasa dan fkelsibel
karena terfokus pada obyek yang mempunyai kompleksitas yang tinggi. Hal ini
sejalan dengan
pendapat Guba dan Lincoln bahwa pendekatan naturalistik mampu memberikan pemahaman yang mendalam atas proses sosial yang kompleks. Sehingga teknik pengambilan data yang paling cocok digunakan adalah in depth interview dan
participant observation.
pendapat Guba dan Lincoln bahwa pendekatan naturalistik mampu memberikan pemahaman yang mendalam atas proses sosial yang kompleks. Sehingga teknik pengambilan data yang paling cocok digunakan adalah in depth interview dan
participant observation.
Kebijakan pelayanan perijinan terpadu
model Sistem Adminsitrasi Satu Atap, yang diambil oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Nganjuk dan telah dilaksanakan sejak tahun 1998, meskipun belum
sepenuhnya menghasilkan out put sesuai dengan visi dan misi pendirian lembaga
dimaksud, ternyata telah mampu menampakkan suatu perkembangan yang lebih baik
dari pada sebelum adanya UPT perijinan.
Informasi dan temuan-temuan lain
sepanjang penelitian berlangsung, menunjukkan bahwa kelembagaan yang terbentuk
masih bersifat sebagai koordinator karena berupa awal proses pembenahan
administrasi sekaligus berimplikasi terhadap peningkatan penerimaan retribusi
dari sektor pelayanan perijinan. Sedangkan proses yang berkaitan dengan masalah
teknis masih dilaksanakan oleh instansi teknis yang terkait. Hal ini disebabkan
karena institusi tersebut masih belum diimbangi dengan personil tetap baik
tenaga administratif maupun tenaga teknis yang bertugas mengelola aspek
administrasi maupun aspek teknis yang ditangani dalam satu lembaga perijinan.
Disisi lain tampak belum tersedianya prasarana fisik maupun anggaran
yang memadai, sehingga hal ini mempunyai dampak pada tingkat efektivitas dan
efisiensi pelayanan yang masih dapat ditingkatkan, baik dari aspek penerimaan
dari sektor retribusinya dengan sistem satu pintu. Kondisi saat ini masih
memungkinkan terjadinya suatu penyimpangan prosedur, apabila koordinasi
pemrosesan perijinan antara Unit Pelayanan Terpadu sebagai pemroses
administrasi awal dengan instansi
terkait sebagai pemroses aspek teknis kurang berjalan dengan baik. Selain kondisi tersebut juga masih memungkinkan akan terjadi adanya biaya tambahan yang tak tercantum dalam kebijakan resmi. Kesimpulan makro ini dijelaskan berdasarkan pada dampak kebijakan perijinan terhadap kelembagaan, pelayanan dan penerimaan Pendapatan Asli Daerah
terkait sebagai pemroses aspek teknis kurang berjalan dengan baik. Selain kondisi tersebut juga masih memungkinkan akan terjadi adanya biaya tambahan yang tak tercantum dalam kebijakan resmi. Kesimpulan makro ini dijelaskan berdasarkan pada dampak kebijakan perijinan terhadap kelembagaan, pelayanan dan penerimaan Pendapatan Asli Daerah
·
Dampak positif
1. Prinsip
kerja menjadi beragam.
2. Motivasi
kerja dari keunggulan – keunggulan yang dimiliki dari masing – masing etnik.
·
Dampak negative
Bisa
terpecahnya suatu instansi pemerintahan jika didalamnya suatu etnik suku itu
menganggap sukunya yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar