Minggu, 17 November 2013

Pengantar Ilmu Pemerintahan



TUGAS ILMU PEMERINTAHAN
Tentang
PENGARUH BUDAYA ETNIK LOKAL TERHADAP FUNGSI PEMERINTAHAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK


Oleh:
YUDHA PRAYOGA ISMAN
1106468
BP 2011

PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU SOSIAL POLITIK
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2011



KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas “pengaruh etnik local terhadap fungsi pemerintahan dan kebijakan publik” ini tepat pada waktunya. Salawat Penulis sampaikan kepada junjungan umat Islam sedunia, Nabi Muhammad SAW yang menyampaikan ajaran Islam untuk kecerdasan manusia.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada Bapak Aldri Frinaldi, S.H., M.Hum. sebagai dosen pembimbing Mata Kuliah Umum Ilmu Pemerintahan. Tak lupa kepada orang tua, teman, dan pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Namun Penulis menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaa. Penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini kedepannya.
Demikianlah makalah ini Penulis sampaikan. Semoga makalah ini dapat menjadi amal yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, khususnya dalam kehidupan ilmu pengetahuan. Amin.


Padang, November 2011



Penulis













·         Kata etnik berasal dari bahasa Yunani ethnos yang berarti bangsa atau orang atau acapkali diartikan sebagai setiap kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya yang mengindikasikan adanya kenyataan kelompok yang minoritas dan mayoritas dalam suatu masyarakat.

·         Memperluas pengertian kelompok etnik sebagai kelompok sosial yang dapat tersusun atas ras, agama atau asal negara
(Delgado , Ricardo dan Stefanis. 2001.  Critical Race Theory: an Introduction. New York: New York University Press)
  1. Suatu kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama
  2. Suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda tetapi diantara mereka memiliki semacam subkultur yang sama
  3. Suatu kelompok yang memiliki domain tertentu (etnic domain)


1.      Fredrick Barth
Etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budaya

2.      Hassan Shadily MA
Suku bangsa atau etnis adalah segolongan rakyat yang masih dianggap mempunyai         hubungan biologis.

3.      Menurut Ensiklopedi Indonesia Etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
4.      Menurut Perspektif Teori Situasional, Etnis merupakan hasil dari adanya pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengkotak-kotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex dalam Simatupang, 2003). Untuk seterusnya sisa warisan kolonial itu terus dipakai sampai sekarang.

Dari semua pengertian di atas kita dapat memahami apa yang dimaksud dengan etnik local.
Etnik lokal adalah suatu kelompok sosial yang ada di suatu daerah atau tempat yang memiliki tradisi atau kebudayaan tersendiri dan memiliki ras yang beragam. Di setiap daerah tentunya memiliki bermacam – macam ras dan suku budaya. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki beragam kebudayaan sejak zaman dahulu. Dari keragaman ini setiap daerah di Indonesia mempunyai cirri tersendiri dalam kebudayaannya.
Dari pengertian etnik lokal diatas apa pengaruhnya terhadap fungsi pemerintahan dan kebijakan publik. Sebelumnya kita harus tau apa fungsi pemerintahan dan kebijakan publik tersebut.
Sebelum kita mengetahui apa pengaruh etnik local terhadap fungsi pemerintahan kita sebelumnya harus mengetahui apa fungsi pemerintahan yang berlaku di Indonesia.
Fungsi Pemerintahan di Indonesia Secara Umum
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia diarahkan untuk mencapai kepentingan nasional (National Interest) serta untuk mewujudkan tujuan nasional (National Goal) yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.
Fungsi pemerintahan pada umumnya berupa penyediaan pelayanan umum, pengaturan dan perlindungan masyarakat serta pembangunan dan pengembangan. Sedangkan tugas dan kewajiban pemerintah adalah membuat regulasi tentang pelayanan umum, pengembangan sumber daya produktif, melindungi ketentraman dan ketertiban masyarakat, pelestarian nilai-nilai sosio-kultural, kesatuan dan persatuan nasional, pengembangan kehidupan demokrasi, pencapaian keadilan dan pemerataan, pelestarian lingkungan hidup, penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan, mendukung pembangunan nasional dan mengembangkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan menjaga tegak, lestari serta utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

FUNGSI PEMERINTAHAN
Dilihat dari fungsi dan tugas pemerintah seperti teridentifikasi di atas, maka dalam mengoptimalkan penyelenggaraannya diperlukan penerapan good governance sebagai suatu tata pemerintahan yang baik yang di dalam pelaksanaannya didukung tiga pilar utama yakni pemerintah, masyarakat, dan swasta. Prinsip tersebut dijabarkan sebagai berikut :

1.      Akuntabilitas; penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan.

2.      Transparansi; dalam penyelenggaraannya, fungsi-fungsi pemerintahan harus memiliki mekanisme yang jelas dan diinformasikan kepada semua pihak.

3.      Keterbukaan; dalam penyelenggaraannya, pemerintahan harus bersifat terbuka, sehingga dapat menerima saran dan kritik dari pihak lain guna memperbaiki penyelenggaraan fungsi-fungsinya.

4.      Penegakan Hukum; Pemerintahan diselenggarakan dengan menegakkan peraturan dan perundangan yang ada.


5.      Demokrasi dan partisipasi; fungsi-fungsi pemerintahan diselenggarakan tanpa mengabaikan kepentingan bersama serta melibatkan masyarakat dan pihak swasta sebagai bagian dari pilar utama kekuatan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan.
6.      Kapabilitas; fungsi-fungsi pemerintahan harus didukung oleh sumber daya yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam menjalankan tugas-tugasnya

7.      Profesionalisme; sumber daya manusia yang terlibat dalam pemerintahan harus mampu memisahkan kepentingan pribadi atau golongan dengan tugas-tugas kenegaraannya.


8.      Responsif; penyelenggaraan pemerintahan harus peka terhadap perubahan yang ada dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.

9.      efektivitas dan efesiensi; penyelenggaraan pemerintahan harus mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memanfaatkan fasilitas dan kapasitas yang ada digunakan secara optimal.


Dalam kaitan untuk mewujudkan kepentingan nasional, tujuan nasional dan good governance, salah satu fungsi pemerintahan yang perlu diterapkan secara utuh adalah penyelenggaraan pemerintahan umum (Algemene Bestuur) sebagai suatu sistem pemerintahan negara yang dilakukan secara terpadu dan terintegrasi oleh perangkat pemerintahan yang memiliki kewenangan secara terpusat, baik dalam masalah kebijaksanaan, maupun dalam pelaksanaannya.
 
Pemerintahan Umum adalah suatu sistem yang dikembangkan dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan seluruh elemen pemerintahan melalui asas dekonsentrasi, desentralisasi (pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada Instansi Vertikal di wilayah tertentu) dan tugas pembantuan (penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu). Pemerintahan umum bertujuan untuk memelihara keutuhan negara yang pada umumnya dilakukan secara seragam melalui standardisasi yang rasional dan didasarkan pada kepentingan negara.
Dalam menjalankan peranannya, Pemerintahan Umum dapat memilah-milah kewenangan dan bahkan dapat mendistribusikan kewenangan secara rasional dan hierarkhis kepada Pemerintahan bawahan melalui suatu sistem dan perangkat birokrasi yang efisien. Pada zaman modern ini, sistem Pemerintahan Umum dihadapkan pada suatu fenomena politik dimana kekuasaan sentral tersebut dituntut untuk dibagikan seleluasa mungkin kepada unit-unit Pemerintahan bawahan dengan alasan-alasan efisiensi dan menyesuaikan kebijaksanaan Negara pada Kebhinekaan Pemerintahan bawahan. Di banyak negara yang semula sentralistis, melalui mekanisme politik tertentu kewenangan dibagi kepada Pemerintahan Bawahan dengan tujuan untuk mencapai efisiensi dan ketepatan implementasi kebijaksanaan umum dari Pemerintah Pusat.

KEBIJAKAN PUBLIK
Beberapa definisi tentang Kebijakan Publik, menurut :

1)      Bridgman dan Davis (2005:3)
Kebijakan Publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai “whatever government choose to do or not to do”. Yang berarti, kebijakan publik adalah ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan’.

2) Hogwood dan Gunn (1990)
Kebijakan Publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Namun dalam hal ini bukan berarti bahwa makna ‘kebijakan ‘ hanyalah milik atau domain pemerintah saja.

3) Edi Suharto, Ph.D.
Kebijakan (policy) Publik adalah sebuah instrumen pemerintanhan, bukan saja dalam arti governmentyang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya public

4) Beberapa Definisi dari kalangan lainnya :
-          Kebijakan Publik pada dasarnya hanya sebatas dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan peraturan pemerintah.
-          Kebijakan Publik sebagai pedoman, acuan, strategi dan kerangka tindakanyang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar atau roadmap pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan.

Pasca reformasi, negara Indonesia menganggap dirinya sebagai negara demokrasi. Setelah terlepas dari kekuatan dan kekuasaan rezim Soeharto “orde lama” maka sekarang ini rakyat dituntut untuk mampu menentukan dan ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam kekuasaan negara.
Aksi demo dari berbagai kalangan selalu dilakukan demi tercapainya kebijakan pemerintah yang harus sesuai dengan kehendak rakyat, namun apakah itu benar? Dan yang harus dipertanyakan kembali adalah apakah rakyat mengerti tentang kebijakan serta sistem yang mengikuti adanya kebijakan tersebut? Rasanya Tak pantas bila kita hanya menyalahkan sesuatu namun kita tidak mengetahui sesuatu yang kita salahkan itu.
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk membagi pengetahuan kepada masyarakat tentang arti serta sistem yang terkandung dalam penetapan  kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh berbagai kalangan saya berharap tulisan ini bermanfaat bagi kita semua dan mampu menjawab inti dari pertanyaan besar dari tujuan tulisan ini yaitu, apakah kebijakan yang dibuat pemerintah selama ini sudah sesuai dengan kehendak rakyat?
Ada beberapa teori tentang kebijakan diantaranya yaitu; menurut Ealau dan Pewitt (1973) kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku,dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut. Menurut Titmuss (1974) mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuam tertentu dan menurut Edi Suharto (2008:7) menyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Selain 3 teori diatas kebijakan pun dapat di definisikan sesuai dengan teori yang mengikutinya,antara lain yaitu:
1.      Teori Kelembagaan memandang kebijakan sebagai aktivitas kelembagaan dimana struktur dan lembaga pemerintah merupakan pusat kegiatan politik.
2.      Teori Kelompok yang memandang kebijakan sebagai keseimbangan kelompok yang tercapai dalam perjuangan kelompok pada suatu saat tertentu. Kebijakan pemerintah dapat juga dipandang sebagai nilai-nilai kelompok elit yang memerintah
3.      Teori Elit memandang Kebijakan pemerintah sebagai nilai-nilai kelompok elit yang memerintah.
4.      Teori Rasional memandang kebijakan sebagai pencapaian tujuan secara efisien melalui sistem pengambilan keputusan yang tetap.
5.      Teori Inkremental, kebijakan dipandang sebagai variasi terhadap kebijakan masa lampau atau dengan kata lain kebijakan pemerintah yang ada sekarang ini merupakan kelanjutan kebijakan pemerintah pada waktu yang lalu yang disertai modifikasi secara bertahap.
6.      Teori Permainan memandang kebijakan sebagai pilihan yang rasional dalam situasi-situasi yang saling bersaing.
7.      Teori kebijakan yang lain adalah Teori Campuran yang merupakan gabungan model rasional komprehensif dan inkremental.
Perlu kita ketahui mengapa kita harus mengetahui serta memahami setiap kebijakan yang ada, karena kebijakan tidak bisa dipahami secara tekstual, namun banyak sekali hal-hal yang tersirak(kontekstual) yang tidak diketahui oleh public dalam menetapkan kebijakan. Disinilah peran media sebagai fasilitator untuk tranformasi informasi kepada rakyat. Maka haruslah setiap menia yang ada bersifat independen atau tidak terpengaruhi oleh kekuasaan politik tertentu. Selain media sebagai alat, masyarakan berperan utuk dapat menganalisis setiap kebijakan dan mampu membantu menyusun kebijakan yang ada. Inilah 2 tujuan mempelajari kebijakan pemerintah.
Ada 2 akibat yang timbul dari penetapan kebijakan, yaitu: kebijakan yangberorientasi pada pelayanan public dalam arti sesuai dengan makna demokrasi dan kebijakan yang meracuni public/ kebijakan yang ditetapkan hanya untuk kepentingan beberapa kalangan saja, dan hal dampak yang kedua ini sangatlah kontraproduktif terhadap nilai-nilai demokrasi.
Seperti yang telah kita ketahui, salah sau fungsi politik adalah untuk membuat kebijakan dan kebijakan ada karena 2 faktor yaitu; adanya masalah sosial dan adanya pergantian kekuasaan yang megakibatkan kebijakan pun berubah-ubah.
Kebijakan dapat diwujudkan dengan cara; Pembuatan Peraturan UU, Perencanaan Kegiatan, Aneka intervensi terhadap ekonomi/social masyarakat. Karena kebijakan itu merupakan tindakan dan keputusan pemerintah maka kebijakan tersebut dicirikan dengan kekuasaan yangdidominasi oleh pemerintah serta sesuai hukum dan wewenang pemerintah.

Dari berbagai kepustakaan dapat diungkapkan bahwa kebijakan publik dalam kepustakaan Internasional disebut sebagai public policy, yaitu suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi (Nugroho R., 2004; 1-7). 
Aturan atau peraturan tersebut secara sederhana kita pahami sebagai kebijakan publik, jadi kebijakan publik ini dapat kita artikan suatu hukum. Akan tetapi tidak hanya sekedar hukum namun kita harus memahaminya secara utuh dan benar. Ketika suatu isu yang menyangkut kepentingan bersama dipandang perlu untuk diatur maka formulasi isu tersebut menjadi kebijakan publik yang harus dilakukan dan disusun serta disepakati oleh para pejabat yang berwenang. Ketika kebijakan publik tersebut ditetapkan menjadi suatu kebijakan publik; apakah menjadi Undang-Undang, apakah menjadi Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden termasuk Peraturan Daerah maka kebijakan publik tersebut berubah menjadi hukum yang harus ditaati. 
Sementara itu pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4). 
Untuk memahami kedudukan dan peran yang strategis dari pemerintah sebagai public actor, terkait dengan kebijakan publik maka diperlukan pemahaman bahwa untuk mengaktualisasinya diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi kepada kepentingan rakyat. Seorang pakar mengatakan: (Aminullah dalam Muhammadi, 2001: 371 – 372):
bahwa kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka panjang dan menyeluruh.
Demikian pula berkaitan dengan kata kebijakan ada yang mengatakan: (Ndraha 2003: 492-499)
bahwa kata kebijakan berasal dari terjemahan kata policy, yang mempunyai arti sebagai pilihan terbaik dalam batas-batas kompetensi actor dan lembaga yang bersangkutan dan secara formal mengikat.
Meski demikian kata kebijakan yang berasal dari policy dianggap merupakan konsep yang relatif (Michael Hill, 1993: 8):
The concept of policy has a particular status in the rational model as the relatively durable element against which other premises and actions are supposed to be tested for consistency.
Dengan demikian yang dimaksud kebijakan dalam Kybernology dan adalah sistem nilai kebijakan dan kebijaksanaan yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan. Selanjutnya kebijakan setelah melalui analisis yang mendalam dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan. Dalam merumuskan kebijakan Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan antara lain menjadi: model kelembagaan, model elit, model kelompok, model rasional, model inkremental, model teori permainan, dan model pilihan publik, dan model sistem. 
Selanjutnya tercatat tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu: model pengamatan terpadu, model demokratis, dan model strategis. Terkait dengan organisasi, kebijakan menurut George R. Terry dalam bukunya Principles of Management adalah suatu pedoman yang menyeluruh, baik tulisan maupun lisan yang memberikan suatu batas umum dan arah sasaran tindakan yang akan dilakukan pemimpin (Terry, 1964:278). 
Kebijakan secara umum menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin,2004:31-33) dapat dibedakan dalam tiga tingkatan:
  1. Kebijakan umum, yaitu kebijakan yang menjadi pedoman atau petunjuk pelaksanaan baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi yang bersangkutan.
  2. Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah tentang pelaksanaan suatu undang-undang.
  3. Kebijakan teknis, kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan.

Namun demikian berdasarkan perspektif sejarah, maka aktivitas kebijakan dalam tataran ilmiah yang disebut analisis kebijakan, memang berupaya mensinkronkan antara pengetahuan dan tindakan. Dikatakan oleh William N. Dunn (William N. Dunn, 2003: 89)
Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dan tindakan. 
Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan publik digambarkan oleh Bill Jenkins didalam buku The Policy Process sebagai Kebijakan publik adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Selanjutnya Bill Jenkins mendefinisikan kebijakan publik sebagai: (Michael Hill, 1993: 34)
A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decisions should, in principle, be within the power of these actors to achieve. 
Dengan demikian kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.” Menurut Nigro dan Nigro dalam buku M. Irfan Islamy “Prinsip-prinsip Kebijakan Negara (Islamy, 2001:1), administrasi negara mempunyai peranan penting dalam merumuskan kebijakan negara dan ini merupakan bagian dari proses politik. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Oleh karena itu kebijakan dalam pandangan Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan atau sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik. 
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3)
Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil. 
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23)
kebijakan publik biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya. 
Dalam Kybernology dan dalam konsep kebijakan pemerintahan kebijakan publik merupakan suatu sistem nilai yang lahir dari kearifan aktor atau lembaga yang bersangkutan dapat digambarkan sebagai berikut:




Sistem Nilai Kearifan 
Sistem Nilai Kearifan
Selanjutnya kebijakan publik tersebut setelah melalui analisa yang mendalam dan dirumuskan dengan tepat menjadi suatu produk kebijakan publik. Dalam merumuskan kebijakan publik Thomas R. Dye merumuskan model kebijakan yaitu:
  1. Model Kelembagaan;
  2. Model Elit;
  3. Model Kelompok;
  4. Model Rasional;
  5. Model Inkremental;
  6. Model Teori Permainan;
  7. Model Pilihan Publik;
  8. Model Sistem

Selain itu ada tiga model yang diusulkan Thomas R. Dye, yaitu:
  1. Model Pengamatan Terpadu;
  2. Model Demokratis;
  3. Model Strategis

Di sisi lain kebijakan publik sangat berkait dengan administasi negara ketika public actor mengkoordinasi seluruh kegiatan berkaitan dengan tugas dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat melalui berbagai kebijakan publik/umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan negara. Untuk itu diperlukan suatu administrasi yang dikenal dengan “administrasi negara.” Kebutuhan masyarakat tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh individu atau kelompoknya melainkan diperlukan keterlibatan pihak lain yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Pihak lain inilah yang kemudian disebut dengan administrasi negara. 
Proses dilakukan organisasi atau perorangan yang bertindak dalam kedudukannya sebagai pejabat yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan hukum dan peraturan yang dikeluarkan oleh legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Administrasi negara dalam mencapai tujuan dengan membuat program dan melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan. Kebijakan menurut Lasswell dan Kaplan yang dikutip oleh Said Zainal Abidin (Abidin, 2004: 21) adalah sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai, dan praktik. Pendapat lain tentang kebijakan menurut Heinz Eulau dan Kenneth Prewit adalah suatu keputusan yang menuntut adanya perilaku yang konsisten dan pengulangan bagi pembuat dan pelaksana kebijakan. 
Terkait dengan kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye penulis buku “Understanding Public Policy, yang dikutip oleh Riant Nugroho D (Riant, 2004:3) Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil. 
Sedangkan menurut Said Zainal Abidin, alumni University of Pittsburgh, Pennsylvania, US, (Said Zainal Abidin,2004: 23)
kebijakan publik adalah biasanya tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada strata strategis. Sebab itu kebijakan publik berfungsi sebagai pedoman umum untuk kebijakan dan keputusan-keputusan khusus di bawahnya.
Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama untuk mencapai visi dan misi yang telah disepakati. Hal ini seperti tergambar dalam gambar berikut: 
Kebijakan Publik
Kebijakan Publik
Dari gambar di atas dapat simpulkan bahwa kebijakan publik sebagai manajemen pencapaian tujuan yang dapat diukur. Namun menurut Riant Nugroho D., bukan berarti kebijakan publik mudah dibuat, mudah dilaksanakan, dan mudah dikendalikan, karena kebijakan publik menyangkut politik (Nugroho, 2004:52). 
Kebijakan publik dalam praktik ketatanegaraan dan kepemerintahan pada dasarnya terbagi dalam tiga prinsip yaitu:pertama, dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik (Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan ketiga, bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi (Nugroho 2004,100-105) 
Dalam konteks formulasi, maka berbagai isu yang banyak beredar didalam masyarakat tidak semua dapat masuk agenda pemerintah untuk diproses menjadi kebijakan. Isu yang masuk dalam agenda kebijakan biasanya memiliki latar belakang yang kuat berhubungan dengan analisis kebijakan dan terkait dengan enam pertimbangan sebagai berikut:
  1. Apakah Isu tersebut dianggap telah mencapai tingkat kritis sehingga tidak bisa diabaikan?.
  2. Apakah Isu tersebut sensitif, yang cepat menarik perhatian masyarakat?
  3. Apakah Isu tersebut menyangkut aspek tertentu dalam masyarakat?
  4. Apakah Isu tersebut menyangkut banyak pihak sehingga mempunyai dampak yang luas dalam masyarakat kalau diabaikan?
  5. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kekuasaan dan legitimasi?
  6. Apakah Isu tersebut berkenaan dengan kecenderungan yang sedang berkembang dalam masyarakat?

Namun dari semua isu tersebut di atas menurut Said Zainal Abidin (Said Zainal Abidin, 2004: 56-59) tidak semua mempunyai prioritas yang sama untuk diproses. Ini ditentukan oleh suatu proses penyaringan melalui serangkaian kriteria. Berikut ini kriteria yang dapat digunakan dalam menentukan salah satu di antara berbagai kebijakan:
  1. Efektifitas – mengukur suatu alternatif sasaran yang dicapai dengan suatu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan.
  2. Efisien – dana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan yang dicapai.
  3. Cukup – suatu kebijakan dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.
  4. Adil
  5. Terjawab – kebijakan dibuat agar dapat memenuhi kebutuhan sesuatu golongan atau suatu masalah tertentu dalam masyarakat.

Aktivitas analisis didalam kebijakan publik pada dasarnya terbuka terhadap peran serta disiplin ilmu lain. Oleh karena itu didalam kebijakan publik akan terlihat suatu gambaran bersintesanya berbagai disiplin ilmu dalam satu paket kebersamaan. Berdasarkan pendekatan kebijakan publik, maka akan terintegrasi antara kenyataan praktis dan pandangan teoritis secara bersama-sama. Dalam kesempatan ini Ripley menyatakan (Randal B. Ripley, 1985: 31)
Didalam proses kebijakan telah termasuk didalamnya berbagai aktivitas praktis dan intelektual yang berjalan secara bersama-sama. 
Pada praktik kebijakan publik antara lain mengembangkan mekanisme jaringan aktor (actor networks). Melalui mekanisme jaringan aktor telah tercipta jalur-jalur yang bersifat informal (second track), yang ternyata cukup bermakna dalam mengatasi persoalan-persoalan yang sukar untuk dipecahkan. Mark Considine memberi batasan jaringan aktor sebagai: (Mark Considine, 1994: 103)
Keterhubungan secara tidak resmi dan semi resmi antara individu-individu dan kelompok-kelompok di dalam suatu sistem kebijakan. 
Terdapat 3 (tiga) rangkaian kesatuan penting didalam analisis kebijakan publik yang perlu dipahami, yaitu formulasi kebijakan (policy formulation), implementasi kebijakan (policy implementation) dan evaluasi kebijakan (policy evaluation). Didalam kesempatan ini dibahas lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan, karena memiliki relevansi dengan tema kajian.


Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.

Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William Dunn
Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn  adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:
1. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;
2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;
4. menjangkau dampak yang amat luas ;
5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.

2.Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.


3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan.  Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.  Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.

4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak  Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. 

Perspektif Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan publik dapat dilihat dari beberapa perspektif atau pendekatan. Salah satunya ialah implementation problems approach yang diperkenalkan oleh Edwards III (1984: 9-10). Edwards III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan.
Komunikasi suatu program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang disampaikan. Sumber daya, meliputi empat komponen yaitu staf yang cukup (jumlah dan mutu), informasi yang dibutuhkan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas atau tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan. Disposisi atau sikap pelaksana merupakan komitmen pelaksana terhadap program. Struktur birokrasi didasarkan pada standard operating prosedure yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan kebijakan.
Untuk memperlancar implementasi kebijakan, perlu dilakukan diseminasi dengan baik. Syarat pengelolaan diseminasi kebijakan ada empat, yakni: (1) adanya respek anggota masyarakat terhadap otoritas pemerintah untuk menjelaskan perlunya secara moral mematuhi undang-undang yang dibuat oleh pihak berwenang; (2) adanya kesadaran untuk menerima kebijakan. Kesadaran dan kemauan menerima dan melaksanakan kebijakan terwujud manakala kebijakan dianggap logis; (3) keyakinan bahwa kebijakan dibuat secara sah; (4) awalnya suatu kebijakan dianggap kontroversial, namun dengan berjalannya waktu maka kebijakan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983: 5), terdapat dua perspektif dalam analisis implementasi, yaitu perspektif administrasi publik dan perspektif ilmu politik. Menurut perspektif administrasi publik, implementasi pada awalnya dilihat sebagai pelaksanaan kebijakan secara tepat dan efisien. Namun, pada akhir Perang Dunia II berbagai penelitian administrasi negara menunjukkan bahwa ternyata agen administrasi publik tidak hanya dipengaruhi oleh mandat resmi, tetapi juga oleh tekanan dari kelompok kepentingan, anggota lembaga legislatif dan berbagai faktor dalam lingkungan politis.
Perspektif ilmu politik mendapat dukungan dari pendekatan sistem terhadap kehidupan politik. Pendekatan ini seolah-olah mematahkan perspektif organisasi dalam administrasi publik dan mulai memberikan perhatian terhadap pentingnya input dari luar arena administrasi, seperti ketentuan administratif, perubahan preferensi publik, teknologi baru dan preferensi masyarakat. Perspektif ini terfokus pada pertanyaan dalam analisis implementasi, yaitu seberapa jauh konsistensi antara output kebijakan dengan tujuannya.
Ripley memperkenalkan pendekatan “kepatuhan” dan pendekatan “faktual” dalam implementasi kabijakan (Ripley & Franklin, 1986: 11). Pendekatan kepatuhan muncul dalam literatur administrasi publik. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada tingkat kepatuhan agen atau individu bawahan terhadap agen atau individu atasan. Perspektif kepatuhan merupakan analisis karakter dan kualitas perilaku organisasi. Menurut Ripley, paling tidak terdapat dua kekurangan perspektif kepatuhan, yakni: (1) banyak faktor non-birokratis yang berpengaruh tetapi justru kurang diperhatikan, dan (2) adanya program yang tidak didesain dengan baik. Perspektif kedua adalah perspektif faktual yang berasumsi bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan yang mengharuskan implementor agar lebih leluasa mengadakan penyesuaian.
Kedua perspektif tersebut tidak kontradiktif, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Secara empirik, perspektif kepatuhan mulai mengakui adanya faktor eksternal organisasi yang juga mempengaruhi kinerja agen administratif. Kecenderungan itu sama sekali tidak bertentangan dengan perspektif faktual yang juga memfokuskan perhatian pada berbagai faktor non-organisasional yang mempengaruhi implementasi kebijakan (Grindle, 1980: 7).
Berdasarkan pendekatan kepatuhan dan pendekatan faktual dapat dinyatakan bahwa keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh tahap implementasi dan keberhasilan proses implementasi ditentukan oleh kemampuan implementor, yaitu: (1) kepatuhan implementor mengikuti apa yang diperintahkan oleh atasan, dan (2) kemampuan implementor melakukan apa yang dianggap tepat sebagai keputusan pribadi dalam menghadapi pengaruh eksternal dan faktor non-organisasional, atau pendekatan faktual.
Keberhasilan kebijakan atau program juga dikaji berdasarkan perspektif proses implementasi dan perspektif hasil. Pada perspektif proses, program pemerintah dikatakan berhasil jika pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang dibuat oleh pembuat program yang mencakup antara lain cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil, program dapat dinilai berhasil manakala program membawa dampak seperti yang diinginkan. Suatu program mungkin saja berhasil dilihat dari sudut proses, tetapi boleh jadi gagal ditinjau dari dampak yang dihasilkan, atau sebaliknya.

Apa pengaruh etnik lokal terhadap fungsi pemerintahan ?
Pengaruh yang terjadi dari banyaknya etnik local disuatu daerah bisa berdampak positif maupun negative karena etnik di suatu daerah pasti berbeda – beda.
Kriteria Pengukuran Implementasi Kebijakan
Menurut Grindle (1980: 10) dan Quade (1984: 310), untuk mengukur kinerja implementasi suatu kebijakan publik harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat.
Kriteria pengukuran keberhasilan implementasi menurut Ripley dan Franklin (1986: 12) didasarkan pada tiga aspek, yaitu: (1) tingkat kepatuhan birokrasi terhadap birokrasi di atasnya atau tingkatan birokrasi sebagaimana diatur dalam undang-undang, (2) adanya kelancaran rutinitas dan tidak adanya masalah; serta (3) pelaksanaan dan dampak (manfaat) yang dikehendaki dari semua program yang ada terarah. Sedangkan menurut Goggin et al. (1990: 20-21, 31-40), proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer informasi atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih rendah diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel: (1) dorongan dan paksaan pada tingkat federal, (2) kapasitas pusat/negara, dan (3) dorongan dan paksaan pada tingkat pusat dan daerah.
Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat pusat ditentukan oleh legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat di mata daerah maka semakin besar kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Untuk mengukur kekuatan isi dan pesan kebijakan dapat dilihat melalui: (i) besarnya dana yang dialokasikan, dengan asumsi bahwa semakin besar dana yang dialokasikan maka semakin serius kebijakan tersebut dilaksanakan dan (ii) bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar. Sementara itu, untuk mengetahui variabel kapasitas pusat atau kapasitas organisasi dapat dilihat melalui seberapa jauh organisasi pelaksana kebijakan mampu memanfaatkan wewenang yang dimiliki, bagaimana hubungannya dengan struktur birokrasi yang ada dan bagaimana mengkoordinasikan berbagai sumberdaya yang tersedia dalam organisasi dan dalam masyarakat.
Model kesesuaian implementasi kebijakan atau program dari Korten juga relevan digunakan (lihat kembali Gambar 3 dan penjelasannya) sebagai kriteria pengukuran implementasi kebijakan. Dengan kata lain, keefektifan kebijakan atau program menurut Korten tergantung pada tingkat kesesuaian antara program dengan pemanfaat, kesesuaian program dengan organisasi pelaksana dan kesesuaian program kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana.
Selain kriteria pengukuran implementasi kebijakan di atas, perlu pula dipahami adanya hubungan pengaruh antara implementasi kebijakan dengan faktor lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Van Meter dan Van Horn (lihat Grindle, 1980: 6) bahwa terdapat variabel bebas yang saling berkaitan sekaligus menghubungkan antara kebijakan dengan prestasi kerja. Variabel yang dimaksud oleh keduanya meliputi: (i) ukuran dan tujuan kebijakan, (ii) sumber kebijakan, (iii) ciri atau sifat badan/instansi pelaksana, (iv) komunikasi antar organisasi terkait dan komunikasi kegiatan yang dilaksanakan, (v) sikap para pelaksana, dan (vi) lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Menurut Quade (1984: 310), dalam proses implementasi kebijakan yang ideal akan terjadi interaksi dan reaksi dari organisasi pengimplementasi, kelompok sasaran dan faktor lingkungan yang mengakibatkan munculnya tekanan dan diikuti dengan tindakan tawar-menawar atau transaksi. Dari transaksi tersebut diperoleh umpan balik yang oleh pengambil kebijakan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan selanjutnya. Quade memberikan gambaran bahwa terdapat empat variabel yang harus diteliti dalam analisis implementasi kebijakan publik, yaitu: (1) Kebijakan yang diimpikan, yaitu pola interaksi yang diimpikan agar orang yang menetapkan kebijakan berusaha untuk mewujudkan; (2) Kelompok target, yaitu subyek yang diharapkan dapat mengadopsi pola interaksi baru melalui kebijakan dan subyek yang harus berubah untuk memenuhi kebutuhannya; (3) Organisasi yang melaksanakan, yaitu biasanya berupa unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab mengimplementasikan kebijakan; dan (4) Faktor lingkungan, yaitu elemen dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Sebagai komparasi dapat dipahami pemikiran Mazmanian dan Sabatier yang mengembangkan “kerangka kerja analisis implementasi” (lihat Wahab, 1991: 117). Menurutnya, peran penting analisis implementasi kebijakan negara ialah mengidentifikasi variabel yang mempengaruhi pencapaian tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel yang dimaksud oleh Mazmanian dan Sabatier diklasifikasikan ke dalam tiga kategori umum, yaitu: (1) mudah atau sulitnya dikendalikan masalah yang digarap; (2) kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasinya; dan (3) pengaruh langsung variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam kebijakan. Ketiga variabel ini disebut variabel bebas yang dibedakan dengan tahap implementasi yang harus dilalui sebagai variabel terikat.
Variabel mudah atau sulitnya suatu masalah dikendalikan mencakup: (i) kesukaran teknis, (ii) keragaman perilaku kelompok sasaran, (iii) persentase kelompok sasaran dibandingkan dengan jumlah penduduk, dan (iv) ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan. Variabel kemampuan kebijakan untuk mensistematisasi proses implementasi mencakup: (i) kejelasan dan konsistensi tujuan, (ii) ketepatan alokasi sumber daya, (iii) keterpaduan hirarki dalam dan di antara lembaga pelaksana, (iv) aturan keputusan dari badan pelaksana, (v) rekruitmen pejabat pelaksana, dan (vi) akses formal pihak luar. Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi mencakup: (i) kondisi sosial ekonomi dan teknologi, (ii) dukungan publik, (iii) sikap dan sumber daya yang dimiliki kelompok, (iv) dukungan dari pejabat atasan, dan (v) komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana (Keban, 2007: 16). Sedangkan variabel terikat yang ditunjukkan melalui tahapan dalam proses implementasi mencakup: (i) output kebijakan badan pelaksana, (ii) kesediaan kelompok sasaran mematuhi output kebijakan, (iii) dampak nyata output kebijakan, (iv) dampak output kebijakan sebagaimana yang dipersepsikan, dan (v) perbaikan.
Model-model Implementasi Kebijakan Pemerintah
Model implementasi kebijakan pemerintah digunakan untuk menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang menjadi fokus analisis.
Model-model implementasi kebijakan pemerintah itu, antara lain:

1. Model “The top down approach” menurut Brian W. Hogwood dan Lewis A, Gunn, yaitu implementasi kebijakan pemerintah yang dilaksanakan dapat sempurna, dengan persyaratan:

a. Kondisi eksternal yang dihadapi Badan Pelaksana tidak akan menimbulkan kendala serius.

b. tersedianya waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai untuk melaksanakan program.

c. perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.

d. kebijakan yang akan di implementasikan disadari oleh suatu hubungan kausalitas yang ada.

e. hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

f. hubungan saling ketergantungan harus kecil.

g. pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan

h. tugas-tugas diperinci dalam urutan yang tepat

i. komunikasi dan koordinasi yang tepat.

j. pihak-pihak yang berwenang dapat menentukan dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

2. Model Proses Implementasi kebijakan, menurut Van Meter dan Van Horn, yaitu perbedaan-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang bersangkutan.
Implementasi akan berhasil apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, dan kesepakatan terhadap tujuan, terutama yang terlibat di lapangan relatif tinggi. Sehingga perlu tipologi kebijakan yang dibedakan berdasarkan:

a. jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan;

b. jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat.

3. Model Kerangka Analisis Implementasi, menurut D. Mazmanian dan P.A. Sabatier, yaitu nilai penting analisis implementasi kebijakan pemerintah adalah untuk mengidentifikasikan variabel-variabel itu terbagi dalam 3 (tiga) kategori yaitu:

a. mudah tidaknya masalah ( yang akan dipecahkan) dikendalikan;

b. kemampuan keputusan untuk menstrukturkan proses implementasi secara tepat;

c. pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.

Sehubungan dengan turunnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 1996, yang berdampak terhadap munculnya kondisi resesi ekonomi, maka hal ini mempengaruhi sektor riil dan kelumpuhan produktivitas. Di satu sisi lain melahirkan adanya tuntutan terhadap reformasi administrasi negara untuk melakukan perubahan- perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penyelarasan kinerja aparat yang berorientasi pada keadilan yang tidak hanya bertumpu pada pertumbuhan saja.

Dalam menyikapi perubahan yang cepat di masyarakat, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Dati II Nganjuk sejak tahun 1998 telah melakukan alternatif dalam peningkatan pelayanan publik agar mampu menangani berbagai masalah antara lain dalam enam sektor perijinan melalui model Satuan Administrasi Satu Atap (SAMSAT) dalam pengurusannya yaitu ijin HO, tempat usaha, IMB, penggilingan padi dan penyosohan beras dan ijin perubahan status tanah. SAMSAT mempunyai prinsip yaitu kesedarhanaan, ketepatan, kejelasan, kelancaran dan perlindungan. Berdasarkan pemikiran dan fenomena yang ada, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian evaluatif terhadap dampak implementasi kebijakan
perijinan model Satuan Administrasi Satu Atap di Kabupaten Daerah Tingkat II Nganjuk dengan topik Evaluasi Dampak Implementasi Kebijakan Pelayanan Publik . Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: (a) apakah
debirokratisasi melalui model Satuan Administrasi Satu Atap dapat meningkatkan efektifitas pelayanan publik? (b) bagaimana dampak dan konsekuensi implementasi kebijakan sektor perijinan terhadap pelayana wajib ijin? (c) bagaimana dampak implementasi kebijakan terhadap kontribusinya bagi Pendapatan Asli Daerah?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
(a) mendeskripsikan birokrasi melalui model Satuan Administrasi Satu Atap dalam meningkatkan efektifitas pelayanan
(b) mengevaluasi dampak dan konsekuensi implementasi kebijakan sektor perijinan terhadap pelayanan wajib ijin dan kontribusinya bagi Pendapatan Asli Daerah.
Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Sesuai dengan pendapat Cronbach yang nyata bahwa penelitian evaluasi kebijakan publik metode kualitatif lebih cocok digunakan daripada metode kuantitatif, karena metode kualitatif dapat menggambarkan secara
menyeluruh mengenai hasil evaluasi serta pemahaman terhadap program dengan situasi lingkungannya, sehingga lebih bersifat leluasa dan fkelsibel karena terfokus pada obyek yang mempunyai kompleksitas yang tinggi. Hal ini sejalan dengan
pendapat Guba dan Lincoln bahwa pendekatan naturalistik mampu memberikan pemahaman yang mendalam atas proses sosial yang kompleks. Sehingga teknik pengambilan data yang paling cocok digunakan adalah in depth interview dan
participant observation.
Kebijakan pelayanan perijinan terpadu model Sistem Adminsitrasi Satu Atap, yang diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Nganjuk dan telah dilaksanakan sejak tahun 1998, meskipun belum sepenuhnya menghasilkan out put sesuai dengan visi dan misi pendirian lembaga dimaksud, ternyata telah mampu menampakkan suatu perkembangan yang lebih baik dari pada sebelum adanya UPT perijinan.
Informasi dan temuan-temuan lain sepanjang penelitian berlangsung, menunjukkan bahwa kelembagaan yang terbentuk masih bersifat sebagai koordinator karena berupa awal proses pembenahan administrasi sekaligus berimplikasi terhadap peningkatan penerimaan retribusi dari sektor pelayanan perijinan. Sedangkan proses yang berkaitan dengan masalah teknis masih dilaksanakan oleh instansi teknis yang terkait. Hal ini disebabkan karena institusi tersebut masih belum diimbangi dengan personil tetap baik tenaga administratif maupun tenaga teknis yang bertugas mengelola aspek administrasi maupun aspek teknis yang ditangani dalam satu lembaga perijinan.
Disisi lain tampak belum tersedianya prasarana fisik maupun anggaran yang memadai, sehingga hal ini mempunyai dampak pada tingkat efektivitas dan efisiensi pelayanan yang masih dapat ditingkatkan, baik dari aspek penerimaan dari sektor retribusinya dengan sistem satu pintu. Kondisi saat ini masih memungkinkan terjadinya suatu penyimpangan prosedur, apabila koordinasi pemrosesan perijinan antara Unit Pelayanan Terpadu sebagai pemroses administrasi awal dengan instansi
terkait sebagai pemroses aspek teknis kurang berjalan dengan baik. Selain kondisi tersebut juga masih memungkinkan akan terjadi adanya biaya tambahan yang tak tercantum dalam kebijakan resmi. Kesimpulan makro ini dijelaskan berdasarkan pada dampak kebijakan perijinan terhadap kelembagaan, pelayanan dan penerimaan Pendapatan Asli Daerah


·         Dampak positif

1.      Prinsip kerja menjadi beragam.
2.      Motivasi kerja dari keunggulan – keunggulan yang dimiliki dari masing – masing etnik.

·         Dampak negative
Bisa terpecahnya suatu instansi pemerintahan jika didalamnya suatu etnik suku itu menganggap sukunya yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar